OTT Hakim PN Surabaya, Bukti Hukum Diperdagangkan dan Jauh dari Keadilan

ILUSTRASI - Penangkapan hakim karena menerima suap membuktikan budaya koruptif di lembaga kehakiman Indonesia masih sulit dihilangkan, meski reformasi telah bergulir lebih dari 25 tahun.

Budaya Koruptif di Lembaga Kehakiman

Diwawancarai secara terpisah, pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada, Herlambang Perdana Wiratraman, mengatakan penangkapan hakim karena menerima suap membuktikan budaya koruptif di lembaga kehakiman masih sulit dihilangkan meski reformasi telah bergulir lebih dari 25 tahun.

Bacaan Lainnya

“Ini fenomena yang menunjukkan bahwa masih bertahan ya, budaya koruptif di institusi kekuasaan kehakiman. Reformasi yang selama ini diupayakan di dalam tubuh kekuasaan kehakiman itu masih belum bisa ya, mencegah terkait dengan kasus-kasus suap, atau pun memperdagangkan perkara yang terjadi,” kata Herlambang Perdana Wiratraman.

Warga Surabaya, Robertus, menyayangkan adanya hakim yang tertangkap tangan menerima suap. Sebagai masyarakat, ia mengaku prihatin saat hukum tidak dijalankan dengan adil, tapi justru berpihak pada pemilik modal maupun pemegang kekuasaan.

“Kalau memang itu sudah terbukti adanya suap, ya itu menjadi pembelajaran bagi penegak hukum supaya menegakkan lagi keadilan, karena hari ini hukum itu bukan lagi tajam ke atas, tapi lebih tajam ke bawah. Karena adanya praktik-praktik suap ini kan membuka kan bahwa masih ada korupsi di negara kita. Sangat ada, khususnya di lembaga hukum yang hari ini menjadi sorotan ya untuk masyarakat,” kata Robertus.

Mahkamah Agung Hormati Proses Hukum

Juru bicara Mahkamah Agung, Yanto, mengatakan pihaknya menghormati proses hukum atas penangkapan ketiga hakim tersebut. Mahkamah Agung tetap mengutamakan asas praduga tidak bersalah, tetapi jika ketiganya terbukti bersalah berdasarkan putusan yang berkekuatan tetap, maka mereka berpotensi diberhentikan permanen. [voa]

Jaringan: VOA

Pos terkait