JAKARTA – Lima hari menjelang pemungutan suara, ratusan aktivis perempuan dari berbagai organisasi hari Jumat (9/2/2024) turun ke jalan dan menggelar “Mimbar Demokrasi Perempuan” di kawasan Monas, Jakarta.
Mereka dengan lantang menyampaikan kritik tajam terhadap praktik di pemerintahan yang dinilai telah mencederai dan mengangkangi demokrasi.
Secara silih berganti, aktivis-aktivis perempuan yang tergabung dalam Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM ini menyampaikan seruan moral mereka, terutama menyoal hilangnya etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Salah seorang aktivis perempuan senior yang juga mantan komisioner di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Yuni Chuzaifah menyesalkan sikap Presiden Joko Widodo, yang di akhir masa jabatannya diharapkan akan mewariskan etika dan moral berharga, tetapi justru mengoyak dengan praktik-praktik nepotisme.
“Amanah reformasi diinjak-injak! Dikatakan nepotisme tidak ada tetapi justru anak dimunculkan dengan merusak mekanisme di Mahkamah Konstitusi yang selama ini merupakan mekanisme adi luhung yang dijunjung rakyat. Lalu kami bisa bergantung pada sistem apa lagi kalau Mahkamah Konstitusi tidak ada, tidak dididengarkan, bahkan digunakan untuk kendaraan politik,” ujar Yuni kepada VOA.
Ia juga menyoroti penyalahgunaan distribusi bantuan sosial (bansos) yang menurutnya justru digunakan sebagai bagian dari politik partisan. Koalisi aktivis perempuan yang terdiri dari lebih 500 individu, tegasnya, menilai Presiden Jokowi menunjukkan secara telanjang bahwa kekuasaan lebih utama dibanding kesatuan negeri dan rasa keadilan bagi masyarakat. Padahal presiden sedianya konsisten pada sumpahnya dan menjaga netralitas, serta tidak mengambil tindakan yang merusak dan melukai bangsa.
Salah satu penyesalan lain, ujar Yuni, adalah belum ada pertanggungjawaban jelas terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus Mei 1998. Bahkan Jokowi menyampaikan dukungan kepada pasangan calon yang jelas-jelas punya jejak pelanggar HAM berat.
“Dalam konteks Mei 98, pemerkosaan massal jadi kami merasa kayak rahim perempuan, rahim perempuan para korban dibiarkan terkoyak dan menginjak-injak sejarah untuk tunggangan kekuasaan,” tegas Yuni.