JAKARTA – Manuver pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka untuk merangkul rival politiknya, dikhawatirkan oleh sejumlah kalangan akan berpotensi membentuk koalisi gemuk tanpa pengawasan, sehingga dinilai berpotensi merusak demokrasi.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman memberi sinyal bahwa tim pasangan nomor urut 2 – yang kini merupakan presiden dan wakil presiden terpilih – akan membentuk koalisi gemuk untuk mengawal pemerintahan ke depan.
Koalisi gemuk itu akan beranggotakan Koalisi Indonesia Maju dan sejumlah partai politik pendukung rival Prabowo dalam pemilihan presiden 2024.
Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Charles Simabura, Minggu (31/3/2024) mengatakan koalisi gemuk yang akan dibangun Prabowo Subianto itu tampaknya merupakan bagian dari upaya untuk meredam keseimbangan kekuasaan.
Menurutnya, tradisi politik di Indonesia adalah selalu berusaha untuk merangkul kelompok-kelompok penyeimbang agar fungsi kontrol dan pengawasan menjadi lemah. Tradisi ini sudah berlangsung sejak era Presiden Soeharto hingga Joko Widodo saat ini.
“Saya pikir ini menjadi tidak sehat untuk demokrasi kita. Kenapa? Karena pemerintah itu berjalan di satu arah, tanpa kontrol. Padahal desain konstitusi kita itu meletakkan fungsi pengawasan di parlemen. Di parlemen itu representasinya adalah partai politik. Partai politik yang seperti apa? Ya, partai politik yang tidak terlibat di dalam pemerintahan,” katanya.
Pengamat politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti, mengatakan Indonesia sudah memiliki pengalaman koalisi gemuk di dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo di mana stabilitas politik tercapai, tetapi demokrasi menjadi layu.
Menurutnya, apa yang dilakukan Jokowi mirip seperti Presiden Soeharto yang ketika berkuasa selama 32 tahun kerap menekan oposisi, baik di formal di parlemen atau non-formal.