Natuna, JurnalTerkini.id – Matahari sudah menunjukkan wajahnya ketika KM Sabuk Nusantara 48 bersandar di Pelabuhan Subi. Penumpang yang hendak turun, berjalan dengan rapi ketika menuruni tangga kapal dan menjejakkan kakinya di pelabuhan tersebut.
Dari penumpang yang turun, terdapat delapan orang yang tergabung dalam tim rombongan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Kedelapan orang ini terdiri dari tiga anggota BRGM RI untuk wilayah Kepulauan Riau dan Bangka Belitung yakni Fauzul (dari Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat), Nandy Chandra (dari Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat) dan Rizal (dari Deputi Bidang Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi). Lalu ada Harmidi (Kabid Pengendalian dan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup Natuna), Mayor Laut (T) M. Tuatah (Perwira Staff Potensi Maritim Lanal Ranai) dan tiga wartawan media online.
“Alhamdulilah setelah melakukan perjalanan lebih kurang tujuh jam, akhirnya sampai juga dengan selamat,” ujar Marzani dari Riaukarya.com, salah satu awak media yang ikut, Kamis 30 Mei 2024.
Sesuai dengan rencana, rombongan disambut oleh jajaran Posal, Babinsa, Bhabinkamtibnas dan kemudian diantar ke Penginapan Abelya.
Usai melepas penat disertai makan dan minum, dengan mengendarai motor roda dua, rombongan langsung menuju Kantor Kecamatan Subi. Kedatangan rombongan BRGM ini disambut langsung oleh Camat Subi, Syarifuddin S.Ag, MA.
“Kedatangan BRGM ke Kecamatan Subi bertujuan untuk melakukan survei berupa identifikasi dan inventarisasi hutan mangrove. Nanti akan dilakukan pemetaan berdasarkan Pemetaan Mangrove Nasional (PMN),” Kata Fauzul dalam pertemuan tersebut.
Setelah melakukan pertemuan singkat dengan Camat, rombongan langsung bergerak ke Desa Meliah Selatan untuk melakukan survei.
Survei Hari Pertama
Lokasi survei tidak terlalu jauh dari Kantor Desa Meliah Selatan, untuk sampai ke lokasi, rombongan harus melalui beberapa rumah warga yang ditumbuhi pohon kelapa. Tiba di lokasi, pelantar dengan panjang kurang lebih puluhan meter berdiri kokoh di bibir pantai. Hamparan hutan mangrove kurang lebih 1 ha disekitar pelantar ini ditumbuhi oleh bakau dan api-api.
“Mangrove merupakan tumbuhan yang berkembang pada daerah pasang surut atau air payau. Secara umum jenis tanaman yang biasa hidup di hutan mangrove yakni bakau, api-api, nipah dan banyak lagi tumbuhan lain memakai bahasa ilmiah. Banyak masyarakat yang mengira mangrove itu sama dengan bakau, tapi sebenarnya bakau itu salah satu jenis tumbuhan yang merupakan bagian dari hutan mangrove,” papar Nandy sambil melangkah masuk ke hamparan mangrove di saat air laut surut yang kemudian diikuti oleh rombongan.
Drone yang semula didalam tas penyimpanan, kini telah melayang-layang di langit seputar hamparan mangrove. “Hamparan ini akan dipetakan,” kata Rizal sambil memainkan remote drone.
Meskipun hujan sempat mengguyur, aktifitas survei tetap berjalan. Sesekali canda tawa terlihat di wajah rombongan yang diiringi jepretan foto dari hand phone.
“Di hamparan ini ada dua titik yang kita survei. pH airnya sama dikisaran 7, salt normal dikisaran 23, mangrovenya berjenis bakau dan api-api, substrat pasir dengan kedalaman 15 cm dan 20 cm. Tapi ada kendala disini, hamparan ini merupakan jalur kapal pompong dan tempat parkir kapal pompong,” ucap Fauzul.
Survei Hari Kedua
Usai sarapan pagi, mengingat waktu yang singkat karena berketepatan dengan hari jumat, hal pertama yang dilakukan rombongan adalah melakukan koordinasi dengan Kantor Desa Meliah dan Kantor Desa Terayak. Selain melakukan koordinasi, dokumen administrasi diselesaikan untuk menunjang kegiatan.
Sasaran survei berada di Desa Terayak, lokasi hamparan tidak sulit ditemukan karena tidak jauh dari jalan umum dan masuk kedalam kawasan PMN. Awalnya, rombongan melihat hamparan mangrove berjenis bakau terlihat lebat, tapi setelah ditelusuri lebih jauh kedepan bibir pantai, bakau terlihat kerdil seperti hidup segan mati tak mau.
“Bakau ini seperti kena stunting,” kelakar Fadli, Wartawan dari AlurNews.com yang disambut gelak tawa dari rombongan. Informasi yang diterima, belasan tahun yang lalu hamparan ini pernah ditanami bakau oleh kelompok masyarakat.
“Kalau dilihat struktur bawah dari karang, kemungkinan jadi kurang bagus, perlu perawatan yang sangat ekstra,” ucap Nandy menjelaskan kondisi hamparan ini, Jumat 31 Mei 2024.
Sementara di sela-sela bakau, Fauzul mengambil sampel air pantai. Alat yang dipegangnya menujukkan angka 7,33. “pH normal, salt juga normal, substrat pasir dengan kedalaman 15 cm, tapi sayang semakin kedalam karang,” ucapnya.
Kurang puas dengan hamparan ini, rombongan mencoba hamparan lain yang berjarak kurang lebih ratusan meter.
“Hamparan ini tidak termasuk kawasan PMN, tapi coba kita survei karena bakau yang tumbuh lebih lebat dari yang tadi,” ucap Rizal sambil memainkan drone.
Dari hasil survei, pH dan salt masih normal, untuk substrat pasir dengan kedalaman 45 cm, semi karang. Sayangnya, terdapat ulat yang menempel di daun dan batang bakau.
Survei Hari Ketiga.
Lokasi survei yang mau ditempuh cukup berbeda dengan hari sebelumnya karena dua lokasi hamparan hutan mangrove di dua desa ini harus ditempuh dengan menggunakan kapal pompong.
Lokasi pertama yang dipilih rombongan BRGM adalah hamparan mangrove yang terletak di Desa Meliah, tepatnya di Pulau Burung.
Selama perjalanan, cuaca yang cerah serta pemandangan ke laut lepas membuat rombongan terpaku dengan pikirannya masing-masing. Butuh waktu kurang lebih satu jam untuk sampai ke pulau tersebut.
“Pulau Burung bisa ditempuh dengan jalur darat apabila kondisi air laut sedang surut, tapi karena air sudah pasang harus ditempuh lewat jalur laut. Air surut ketika subuh tadi. Pulau Burung merupakan wilayah terluar dari Kecamatan Subi dan berbatasan dengan malaysia Timur. Jadi didepan kita ini sudah laut bebas,” kata seorang warga yang ikut mendampingi rombongan, Sabtu 1 Juni 2024.
Struktur bebatuan Pulau Burung menyebabkan kapal pompong berkapasitas 2 GT yang membawa rombongan harus melabuhkan jangkarnya, rombongan harus dilansir dengan kapal pompong yang lebih kecil lagi. “Kalau dipaksa lebih dekat ke Pulau Burung, pompong bisa nyangkut,” kata warga.
Walaupun sudah dilansir dengan kapal pompong yang lebih kecil untuk dapat melakukan survei, rombongan tetap harus turun basah-basahan karena kondisi hamparan mangrove masih terendam air laut setinggi dada.
“Hasil survei, pH airnya dikisaran 7, salt normal dikisaran 29,8. Mangrovenya berjenis bakau dan lebat. Substrat pasir dengan kedalaman 14 cm dengan catatan karang,” kata Fauzul menjelaskan sambil memegang celana dan bajunya yang telah basah kuyup.
Setelah cukup mengambil data, rombongan kembali dilansir ke kapal pompong awal untuk melanjutkan perjalanan.
Lokasi kedua terletak di Desa Subi Besar Timur, tepatnya di Sungai Hulu yang merupakan muara.
“Hamparan hutan mangrove disini merupakan sarang buaya, jadi kita harus hati-hati melakukan survei. Kita lakukan sebisanya aja, keselamatan yang utama,” kata Nandy mengingatkan rombongan.
Tepat beberapa puluh meter dari mulut muara, kapal pompong melabuhkan jangkar. Dengan kondisi kapal yang tidak stabil, drone diterbangkan dengan bantuan tangan manusia.
Untuk memastikan pemetaan berjalan dengan baik, Rizal si operator drone memeriksa kondisi jaringan, angin serta kawanan burung yang bisa menggangu aktifitas drone. “Kawanan burung bisa menggangu, lebih parah kalau ada burung elang, burung ini pasti akan mengejar drone sampai jatuh,” ucap Nandy yang diaminkan oleh Fauzul.
Puas melakukan pemetaan, drone yang melayang-layang di hamparan mangrove akhirnya turun dengan selamat.
“Dilihat dari drone, hutan mangrove disini lebat, jenisnya bakau. Dari sampel air yg diambil, pH normal, salt juga normal. Untuk substrat diperkirakan berpasir karena kita tidak mungkin langsung turun ke hamparan, disini sarang buaya,” ucap Rizal.
Ditengah perjalanan pulang, Nandy mengatakan hasil data survei ini akan diserahkan ke pimpinan. “Nanti data ini akan dikaji dan dianalisis dengan pimpinan sebagai bahan pengambilan keputusan kelayakan untuk rehab mangrove,” imbuhnya. (Ron)