PR Setelah Pemilu: UU Kelembagaan Presiden dan Penataan Parpol

Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berfoto di depan potret Presiden Joko Widodo usai penetapan pemenang pemilihan presiden 2024 oleh KPU, di Jakarta, 24 April 2024. (Foto: Yasuyoshi Chiba/AFP)
Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berfoto di depan potret Presiden Joko Widodo usai penetapan pemenang pemilihan presiden 2024 oleh KPU, di Jakarta, 24 April 2024. (Foto: Yasuyoshi Chiba/AFP)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sebagai pemenang Pemilihan Umum (pemilu) 2024. Kontestasi telah selesai, tetapi banyak pekerjaan rumah (PR) masih harus dibereskan, terkait praktik demokrasi di Indonesia.

Dari sekian banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan itu, lembaga kepresidenan dan partai politik adalah dua di antaranya.

Bacaan Lainnya

Sepanjang pelaksanaan Pemilu 2024 ini, banyak pihak menilai Presiden Joko Widodo menunjukkan kekuasaan yang sangat besar. Karena itulah, salah satu fokus gugatan dua pasangan calon yang kalah di Mahkamah Konstitusi, adalah soal campur tangan presiden dan pemerintah, dan dianggap membantu pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menang.

Indonesia sudah memiliki rancangan undang-undang (RUU) Lembaga Kepresidenan yang disusun sejak 2001. Namun selama 23 tahun, proses pembahasannya terhenti.

Ignasius Lintang Nusantara, Presiden Constitutional Law Society, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengatakan aturan hukum ini penting untuk membatasi kekuasaan presiden. Lintang setuju, presiden di Indonesia selama ini terlalu kuat.

“Pada hakikatnya, kekuasaan itu kan tidak ingin dibatasi. Itulah yang akhirnya mendegradasi nilai-nilai negara republik demokrasi. Negara ini adalah negara republik demokrasi, bukan negara monarki terselubung. Jika kita mengamini, negara ini berbentuk republik demokrasi, kekuasaan yang tidak terbatas itu harusnya dibatasi,” kata Lintang.

Lintang menegaskan pembatasan kekuasaan itu untuk menjamin hak asasi manusia.

RUU Lembaga Kepresidenan adalah refleksi, lanjut Lintang, karena dalam setiap proses peralihan rezim, ada kesan tidak mau melakukan pembatasan kekuasaan presiden.

Ada semacam keyakinan sosial di tengah masyarakat Indonesia, bahwa pemimpin adalah tokoh yang bijak dan arif, atau sosok negarawan. Masyarakat percaya, seorang presiden menggunakan kekuasaannya dengan baik. Sayangnya, setidaknya yang terjadi dalam proses pemilu 2024 lain, ada anggapan kuat bahwa kebijaksanaan itu tidak muncul.

“Presiden tidak bisa memenuhi ekspektasi masyarakat kita sebelumnya,” kata dia.

Meski tidak ada undang-undang (UU) yang mengaturnya, masyarakat yakin presiden mampu bertindak sesuai rambu-rambu, termasuk penerapan etika. Keyakinan itu keliru, dan karena itulah perlu ada aturan ketat yang membatasi, apa yang bisa dilakukan dan tidak bisa dilakukan presiden.

RUU Lembaga Kepresidenan yang disusun 2001, membutuhkan sejumlah penyesuaian. Pemilu 2024 seharusnya mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), memperluas cakupan terkait pembatasan kewenangan seorang presiden. RUU itu sendiri lahir karena Indonesia belajar dari kekuasaan Soeharto selama 32 tahun.

Panca reformasi, banyak pihak menyadari lembaga kepresiden tidak diatur khusus, sehingga Soeharto begitu berkuasa. Namun hingga saat ini, 23 tahun setelah digagas, RUU Lembaga Kepresidenan tidak tersentuh.

Pos terkait