Jakarta, JurnalTerkini.id – Publik kembali menyorot lembaga Kejaksaan, setelah kasus Djoko Tjandra diikuti pembakaran gedung utama Jaksa Agung, kini lembaga peradilan tempat mengeksekusi kasus-kasus inkracht itu ramai diperbincangkan karena mengusulkan revisi UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Sorotan publik ini terutama dilatarbelakangi mulusnya pembahasan RUU Kejaksaan di Badan Legislasi DPR RI pada pekan lalu, Kamis (17/9/2020).
Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi yang memimpin jalannya rapat menilai semua fraksi di DPR tidak keberatan RUU Kejaksaan diproses lebih lanjut sesuai dengan mekanisme yang berlaku di DPR.
“Setelah kita mendengarkan pendapat, pandangan fraksi-fraksi tentu dengan segala catatan-catatanya. Semua fraksi pada intinya tidak keberatan, untuk diteruskan pada proses yang lebih lanjut sesuai dengan ketentuan DPR, apakah setuju?” tanya Baidowi kepada tiap perwakilan fraksi, seketika dijawab “setuju” oleh para Anggota Baleg DPR RI.
Proses yang begitu mulus di DPR ini membuat sejumlah pengamat mempertanyakan esensi pembahasan harmonisasi yang sama sekali tidak banyak menggodok catatan kritis draft RUU. Seperti disampaikan Andrea H Poeloengan selaku Praktisi Hukum dan Anggota Mahupiki.
Dalam keterangannya kepada sejumlah media, ia mengemukakan perubahan yang sangat signifikan hampir di seluruh pasal ini berpotensi memicu konflik antar lembaga penegak hukum.
“Beberapa poin perubahan menyangkut perluasan kewenangan Jaksa yang bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Perluasan kewenangan ini akhirnya akan mempersulit kontrol antar Criminal Justice System (CJS) dan mengarah kepada kemutlakan kewenangan Jaksa dalam penegakan hukum,” kata Andrea yang juga Komisioner Kompolnas periode 2016-2020.
Ia memerinci perluasan kewenangan tersebut mencakup masuknya Jaksa pada fungsi pengembangan penyidikan dan penyelidikan; penyadapan; dan melaksanakan mediasi penal.
Perluasan kewenangan tersebut juga banyak tercecer pada berbagai pasal, jika dirinci kata Andrea, misalnya pada penanganan isu HAM berat.
“Menjadi multitafsir pada definisi Jaksa Agung di pasal 18, disitu disebutkan Jaksa Agung dapat mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan dan tugas-tugas lain yang diberikan oleh negara. Ketentuan ini mengarah kepada ‘kemutlakan’ kewenangan Jaksa dalam penegakan hukum,” tegasnya.








