Sesi Foto bersama dalam acara FWPJT Demo rusau atau Perusuh Demo di Kantor Gubernur Jateng, Kamis siang (09/10/25)./Dok.Foto.(jurnalterkini.id/Ponco)
Semarang, jurnalterkini.id – Dalam aksi rusuh demonstrasi yang berujung kerusuhan di sejumlah wilayah Jawa Tengah beberapa waktu lalu menjadi sorotan dalam diskusi publik bertajuk “Demo Rusuh atau Perusuh Demo”, Kamis, 9 Oktober 2025. Forum Wartawan Pemprov dan DPRD Jawa Tengah (FWPJT) menggelar diskusi ini di Kantor Gubernur Jateng, bekerja sama dengan Bank Jateng, menghadirkan narasumber dari kalangan aparat, aktivis, akademisi, hingga pelajar.
AKBP Prawoko, Kabag Wasidik Ditreskrimum Polda Jateng, menegaskan bahwa akar kekacauan bukan terletak pada aksi demonstrasi itu sendiri, melainkan ulah oknum perusuh yang menyusup di balik massa.
“Kami tegaskan, yang kami amankan bukan pendemo, tapi perusuh. Saat aksi damai selesai, muncul tindakan anarkis yang tidak bisa ditoleransi,” kata Prawoko dalam paparannya.
Ia menyoroti pentingnya peran koordinator lapangan (korlap) dalam mengorganisasi massa agar tetap dalam koridor hukum dan ketertiban. Menurutnya, korlap idealnya mampu mengidentifikasi potensi gangguan, menjaga komunikasi dengan aparat, serta memastikan tidak ada peserta yang membawa benda berbahaya.
Sementara itu, Syifaul Arifin, perwakilan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Jateng, menyoroti masifnya disinformasi dan hoaks di media sosial yang kerap menyulut emosi publik.
“Ada lonjakan penyebaran informasi palsu menjelang dan saat aksi berlangsung. Ini memperkeruh suasana dan kerap dijadikan bahan bakar provokasi,” ujarnya.
Menurut Syifaul, masyarakat harus didorong untuk lebih kritis dalam mengonsumsi informasi digital. Ia juga mendorong kolaborasi antara media, aparat, dan masyarakat sipil untuk menangkal penyebaran kabar bohong, demi menjaga iklim demokrasi yang sehat.
Sudut pandang berbeda datang dari Sherlizzein Sharifazia, pelajar SMA Kaliwungu, yang menyampaikan keresahan kalangan muda atas lambannya respons pemerintah terhadap aspirasi publik.
“Sekarang ini prinsipnya no viral, no justice. Banyak anak muda merasa didengar hanya ketika sudah turun ke jalan, bukan saat menyampaikan lewat kanal formal,” kata Sherlizzein.
Ia juga menyoroti fenomena ikut-ikutan di kalangan pelajar yang bergabung dalam aksi tanpa memahami isi tuntutan. Menurutnya, pendidikan politik dan literasi digital di sekolah harus diperkuat.
Dalam diskusi tersebut, T. Supriyadi, pengamat sosial dari Universitas Bhayangkara, menilai fenomena media sosial sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi bisa menjadi alat advokasi publik, namun di sisi lain berpotensi menjadi alat provokasi massal.
“Kebebasan berekspresi di media sosial sudah kebablasan. Tidak ada proses verifikasi informasi. Banyak pelajar dan anak di bawah umur terseret dalam aksi karena terpancing narasi viral,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa aparat sebenarnya sudah bertindak sesuai prosedur, namun dinamika lapangan sering tidak terduga.
Diskusi ini menjadi ruang refleksi atas pentingnya membangun ekosistem komunikasi yang sehat antara masyarakat, pemerintah, dan aparat keamanan. Literasi digital, transparansi informasi, serta ruang dialog publik menjadi kunci untuk mencegah demonstrasi berubah menjadi arena kerusuhan.(PH)